Kamis, 21 November 2013

jendela si perantara hati

sudah beberapa hari ini gue terserang flu, tapi saat menulis ini keadaan gue udah lebih baik dari sebelumnya. yah, mungkin gue kecapean jadi pengangguran. aneh banget, nganggur kok capek? ya capeknya bukan di badan, kemungkinan penyebabnya dari pikiran yang otomatis pikiran capek badan ikutan capek (sok tau banget otomatis). namanya juga manusia, bisa memudar kualitasnya kalo gak dilatih. gak sedikitkan orang yang berbadan kekar kemudian badannya melar, orang yang sekolahnya juara olimpiade sains kemudian jadi tukang tanda tangan. 

keesokannya gue periksa ke dokter langganan, Alhamdulillah tensi gue udah normal lagi, mungkin pagi ini sudah bisa menyantap nikmat kopi lagi. sejak hari ini udah 12 hari gue lalui hanya dengan 1 teguk kopi yang dibuat adek gue (ngembat). entah, kalo masih di kos gue bisa bertahan selama itu atau tidak. ohh kosan..

gue pengen bercerita, mungkin kali ini gue buat edisi cerpen ya. ada beberapa orang di socmed yang membuat gue pengen membuat sebuah cerpen, entah nantinya pantes dibilang cerpen atau tidak itu terserah pembaca, gue hanya menulis apa yang pengen gue ceritakan.

...

pagi hari yang kekuning-kuningan dengan sautan ayam berkokok dan burung yang menyanyikan lagu-lagu kesukaan. setiap hari melihat sebuah paras yang menyembunyikan hati, yang setiap hari juga aku saksikan rumah itu yang tidak lain adalah sebuah hati yang terjaga dalam paras wajah yang menawan. tidak cantik, hanya menjadikan pandanganku tetap terjaga karena merupakan sebuah selera. setiap orang boleh dong mempunyai selera? karena selera bisa mengajak seseorang kepada sebuah hasrat yang menentukan pada banyak persimpangan.

setiap kali melihat paras itu selalu terlihat pintu yang tertutup dengan jendela yang terbuka beserta horden yang terikat di pinggirnya, seakan membiarkan siapapun yang lewat ingin menebak ada apa didalamnya. dan sesekali pemiliknya memperlihatkan dirinya dibalik jendela itu sambil mengawasi siapa saja yang sudah lewat di depan hatinya. dengan sikap biasa dia mengawasi siapa saja setiap harinya, tidak ada pesan yang dia tinggalkan untuk orang-orang yang juga mengawasinya.

namun tidak padaku, dia membalas tatapanku saat aku mencoba menatap parasnya di jendela itu. walaupun aku berada jauh diluar pagar yang menutupi halaman hatinya, aku tetap berusaha menjaga tatapannya padaku agar supaya suatu saat aku berani memasuki halamannya untuk mengetuk pintu dan masuk kedalam hatinya. bukan pengecut, aku tidak berani hanya karena aku tidak harus memaksakan diri menghampiri pintu itu, sedangkan aku tetap bisa mengawasinya melalui jendela yang selalu dia bersihkan kacanya setiap hari. tentu saja aku tidak mengharapkan apapun walaupun kita sering untuk saling menjaga tatapan dari jendela itu. tidak ada yang bisa dimengerti dari tatapan itu, kita tidak pernah bicara.

hingga suatu senja, sebelum horden jendela itu tertutup aku berdiri tepat dimana biasanya tatapan kami bertemu. aku melihat dia hendak menutup horden jendela karena langit mulai menghitam, dia berhenti seketika menunda menutup horden itu dia melangkah pergi. pikiranku pun bertanya "apakah aku harus menunggu dia menutup horden itu, ataukah pergi saat ini juga? mungkin dia tidak ingin melihatku lagi" aku memutuskan untuk menunggu dia menutup horden itu. tak berselang lama dia kembali dengan selembar amplop putih ditangannya, dia melambaikan tangan memanggil agar aku bersedia menerima amplop putih yang ada ditangannya. aku menghampiri jendela itu dan menerima amplop putih pemberiannya, sentak dia langsung menutup jendela dan horden pun tertutup. hanya amplop putih dan tanpa sebuah kata terucap dari balik jendela itu.

aku tak mengerti apa maksud dari perilakunya pada senja itu. sekarang di tanganku terdapat sebuah amplop putih yang ternyata terselip sebuah surat didalamnya. "apa aku harus membaca surat ini? padahal dia tidak memintaku membacanya saat memberikan surat ini padaku" aku bergumam kepada langit-langit kamarku. "baiklah aku akan membacanya, aku membaca karena pasti kamu menginginkannya" aku berucap seolah dia juga memintaku menjawab. dalam posisi duduk yang santai aku membaca isi surat itu, ternyata dia ingin mengetahui siapa diriku pria yang selama ini diterima dengan baik tatapan matanya. dia akan bekerja diluar kota, sehingga dia memintaku untuk membalaskan surat ini jika aku mau membalasnya pada tiap akhir pekan. dia benar-benar tidak mengharapkan balasan suratku, tapi dia tetap akan menerima surat itu bila aku bersedia membalasnya. dia berpesan saat aku ingin membalasnya agar aku menyelipkan surat itu dari jendela dimana kita saling bertatap, agar dia tahu bahwa surat itu adalah dariku, bukan dari orang selain aku.

"apa aku akan benar-benar membalas surat ini? padahal dia tidak mengharapkannya? tapi aku tetap ingin mengenalnya? ya, mengenalnya saja mungkin cukup tanpa mengharapkan suatu saat aku berada didalam jendela itu" pikiranku pun mulai tak menentu, menafsirkan semauku, dan mulai melukis kebodohan semu. "aku akan membalasnya, kita bisa saling mengenal dan tidak ada yang salah dari itu" terlintas senyum menjuntai setelah kata-kata itu terucap dari mulutku.

saat surat balasan pertama kuberikan, aku melihat hati itu tampak sepi dengan pintu dan jendela yang terkunci rapat. aku tau dia sedang tidak ada didalamnya, dan sengaja meninggalkannya begitu saja karena ingin berkerja tanpa menganggu kepribadiannya. sejak saat itu aku paham kenapa dia memintaku untuk mengirimkan balasan surat pada akhir pekan saja. karena memang seharusnya seorang pekerja meninggalkan hati dan berfokus pada pikiran untuk mencapai kecakapan selayaknya seorang pekerja. karena pekerjaan bukan soal hati, pekerjaan adalah sebuah kehidupan yang hati hanya sebagai pelengkap setelah aktivitas kerjanya berakhir. karena hatinya adalah tempat beristirahat pikirannya yang letih oleh pekerjaan. tidak semua orang bisa menempatkan hati dan pekerjaan secara terpisah, aku tidak tahu mengapa dia melakukannya. aku menyelipkan surat balasan pertamaku di jendela yang terkunci seperti pintanya dalam surat itu.

dalam beberapa pekan, surat demi surat membuat kita saling mengenal satu sama lain. tidak semua, tapi kita saling mencoba untuk mengenal seperlunya saja. masih ada jarak yang memisahkan, entah apa itu aku tidak mengerti dan aku tidak ingin mencari tahu. meskipun sesekali kita menikmati akhir pekan berdua menyaksikan skenario alam yang tercipta, dengan sedikit mencuri kesempatan aku mengenggam jemari itu dan aku selalu gagal, hanya sesekali menyentuh kulit tangannya saja dan itu juga yang sering menjadi gangguan dalam pikiranku. tidak banyak waktu kita bersama, tapi disaat kita bersama aku selalu senang bisa melihat dua buah mata indah itu tanpa terhalang oleh jendela yang selama ini kita lakukan untuk saling menatap. aku selalu menyimpan memori tatapan itu pada semua kotak yang akan aku buka kotak itu saat aku hampir melupakan dia. aku sering hampir melupakan dia, mungkin karena kesibukannya atau karena waktu kita yang terbatas untuk bersama atau menunggu suratmu di akhir pekan itu yang terlalu lama, meskipun begitu aku tetap menunggunya karena kamu selalu menyuratiku dari jendela itu.

akankah ada saat kamu menyelipkan sebuah kunci dalam surat yang terselipkan di jendela itu? kunci seperti apa? kunci dari pintu yang terkunci itu pastinya. atau akankah suatu saat kamu menuliskan pesan dalam surat yang untuk mengetuk pintu itu karena kamu akan membukanya pada hari yang sama, saat aku menyelipkan surat pada jendela itu. tentu saja ini sebuah permintaan dariku yang mungkin suatu saat akan ku tuliskan dalam balasan suratku. hingga saat itu, aku akan tetap membalas surat dari melalui jendela itu. surat yang ditulis tanpa harapan dan tanpa permintaan untuk menerima balasan.

...

entah mengapa, gue menceritakaan cerita diatas berdasarkan beberapa hal yang pernah gue alamin, atau mungkin ada orang lain yang juga mengalami. yang pasti cerita itu akan berakhir pada saat pemilik hati telah menempatkan seseorang didalamnya untuk menjaga hati dan dirinya. meskipun bukan gue orang yang dipersilahkan menjaga hati dengan jendela yang selalu memberi kabar kepada kita untuk saling mengenal.


kau boleh saja teriak di depan mataku, hingga kau habiskan semua amarahmu. tapi kau sama sekali tak bersuara, lalu manfaatkan kelemahanku. The Rain - Kau Buat Aku Menunggu.



1 komentar: